Piy, di malam itu
kusyairkan lagu-lagu tualang sunyi. Mendamba gerimis jadi peri yang turun dari
kayangan. Sebab segala cinta telah tersudut dalam rimba. Dari auman singa dan
lolongan anjing
Lalu, aku duduk di antara
munajat bukit. Di bawah pohon bidara yang keropos. Sambil meratapi semut yang
terjungkal dan belalang yang kehilangan suara
Piy, tiba-tiba matamu
yang kekunang-kunangan menggantung di celah luka malam. Menjinjit ke pundak
bukit. Menyebarkan kuningmu ke altar-altar bebatuan.
Terlintas dalam angan:
engkau memintal cahaya rembulan dengan sehelai hitam. Menjadi irisan hujan yang
tergerai. Agar kesangsian tidaklah kekal dan langit kembali terlihat biru.
Tetapi adakah rembulan kau bangkitkan dari sukmamu, setelah mentari terbit dari
ufuk sukmaku?
Piy, siang malam telah
aku lewati. Hayalanku tamat membayangkan semesta ini menjadi sepotong hatimu.
Gersang menjadi subur. Pegunungan runcing menjadi gundukan-gundukan permata.
Pohon-pohon rindang membuai segala mimpi.
Sementara aku adalah Adam
yang pertama menghirup kesegaran udaranya. Tak ada gurun tandus, pengap, sesak,
dan terhimpit. Karena aku tahu kehidupan dalam setiap hati adalah kehidupan
cinta. Piy, rubahlah semesta ini menjadi sepotong hatimu agar semua manusia
lembut meniti kehidupan.
2011
No comments:
Post a Comment